Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu
Agustin Diana Wardaningsih, SE, MIKom
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan Jakarta
Baru-baru ini, media massa di Indonesia memberitakan tentang pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi siswa sekolah, bahkan platform media sosial pun ikut marak dengan foto, video, dan pendapat pro dan kontra terkait program tersebut.
Program MBG menjadi salah satu hal baru yang mewarnai dunia pendidikan di Indonesia. Program ini sebetulnya telah lama dianggap sebagai salah satu solusi strategis untuk mengatasi kelaparan, meningkatkan gizi anak, dan mendukung keberhasilan siswa didik bukan hanya di Indonesia namun secara global.
Di Indonesia, program serupa mulai diterapkan di beberapa daerah untuk mengatasi masalah stunting, yang masih menjadi salah satu tantangan kesehatan utama. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada anak-anak Indonesia masih cukup tinggi sehingga menempatkan program makan siang gratis sebagai langkah penting untuk mencegah dampak jangka panjang dari malnutrisi.
MBG merupakan salah satu program yang diluncurkan oleh pemerintah kepemimpinan Presiden Prabowo. Sasaran program ini adalah 600 ribu siswa sekolah yang tersebar di sekitar 20 provinsi di Indonesia. Program ini diluncurkan sejak awal Januari 2025(Batubara, et.al., 2025).
Program MBG memiliki potensi besar memberikan perubahan, namun pertanyaan kritis yang muncul adalah : apakah program MBG ini benar-benar menjadi solusi jangka panjang yang mampu mengubah struktur sosial, atau hanya memberikan ilusi perubahan tanpa menyentuh akar masalah sesungguhnya?
Program MBG merupakan salah satu janji kampanye yang direalisasikan oleh pemerintah Prabowo. Program ini merupakan kepedulian pemerintah untuk membentuk siswa didik terhadap kecukupan gizi sehingga bisa berprestasi dalam pendidikan, dan menyelesaikan pendidikan dengan baik. Salah satu kepedulian untuk membuat generasi muda di Indonesia bisa sukses penyelesaikan pendidikan, dan pada akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak. Akhirnya bisa memperkecil ketimpangan kesejahteraan yang terjadi di Indonesia.
Dalam kerangka pemikiran filsafat Pierre Bourdieu (1987), menekankan bahwa sebuah kebijakan yang menyangkut masyarakat sosial seringkali tidak hanya menyelesaikan masalah yang ada. Kebijakan sosial tersebut sering juga menjadi arena modal sosial, modal budaya, habitus, dan mengurangi ketimpangan baik bagi individu dan kelompok dalam berinteraksi pada sebuah struktur sosial yang lebih luas (Bourdieu, 1987).
Dalam pemikiran Bourdieu, modal sosial merupakan hubungan dan jaringan sosial yang dapat mempengaruhi akses inidvidu terhadap adanya sebuah peluang atau kesempatan. Kebijakan Program MBG, jika dirancang sebagai program yang
melibatkan komunitas lokal dalam penyediaan dan pengelolaan bahan makanan maka akan menjadi modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat lokal. Hal ini juga bisa disebut sebagai modal sosial karena menciptakan pemerataan dan peluang yang sama pada masyarakat.
Modal sosial ini juga terjadi adanya pemerataaan pembagian MBG kepada seluruh siswa sekolah, tanpa adanya perbedaan perlakuan. Manfaat ini merupakan modal sosial yang juga berlatarbelakang ekonomi, dengan menciptakan peluang yang sama bagi siswa sekolah untuk mendapatkan Makan Bergizi Gratis, sehingga mampu memperkuat hubungan sosial di komunitas sekolah.
Bourdieu juga menyebutkan bahwa pengetahuan, nilai, dan kebiasaan yang membantu seseorang dalam mengatur kehidupannya dalam masyarakat yang majemuk, disebut sebagai Modal Budaya (1987). Program ini bisa menjadi modal budaya terutama bagi siswa sekolah jika diiringi dengan pendidikan tentang pentingnya gizi yang baik, penjelasan tentang makanan-makanan dengan nilai gizi, serta program kesehatan yang menyertainya, sehingga menciptakan budaya untuk lebih peduli akan kesehatan dan makanan yang dikonsumsi sejak usia dini. Jadi bukan hanya tentang makanan bergizi yang gratis, tetapi di dalamnya penting diselipkan pendidikan tentang makanan bergizi yang dapat memperkaya pemahaman keluarga tentang kesehatan.
Pemikiran filsafat Bourdieu juga mengenal adanya habitus yang merupakan pola pikir dan tindakan yang terinternaliassi serta dibentuk oleh pengalaman sosial individu (1987). Jika program Makan Bergizi Gratis ini dijalankan dan berhasil untuk memberikan makan bergizi, bisa mengubah kebiasaan siswa sekolah terutama dari keluarga miskin yang mungkin terbiasa dengan pola makan yang kurang sehat.
Hal ini bisa memberikan kesempatan bagi anak-anak keluarga kurang mampu untuk mendapatkan asupan gizi cukup dan mengubah kebiasaan tersebut. Menjadi habitus baru untuk merubah kebiasaan menjadi lebih baik. Hal ini bisa mengurangi ketimpangan dan kesenjangan sosial karena memberikan akses setara terhadap kebutuhan dasar pangan dengan kecukupan gizi sehingga anak-anak dari keluarga kurang mampu pun memiliki kesempatan untuk berprestasi di bidang pendidikan.
Dalam pemikiran filsafat Bourdieu (1987) juga menyebutkan bahwa sebuah kebijakan perlu dirancang dengan cermat dan jelas, namun jika tidak dilakukan maka dapat memperkuat reproduksi sosial berupa sebuah mekanisme saat ketimpangan dan kesenjangan sosial justru tetap terpelihara melalui institusi-institusi pendidikan dan kebijakan sosial. Program ini seolah menciptakan sebuah ilusi kesuksesan, namun program Makan Bergizi Gratis ini belum cukup untuk mengubah struktus sosial yang lebih besar, salah satunya belum mampu memberikan akses ke pendidikan yang berkualitas dan penyediaan pekerjaan yang layak bagi lulusan sekolah. Program ini juga memberikan ilusi semu kemudahan yang ditawarkan karena berisiko untuk menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap bantuan negara, sehingga tidak mampu memberikan perubahan struktural pada sistem masyarakat yang sudah ada. Tanpa
kebijakan pendukung dengan pemberdayaan keluarga dan komunitas lokal, program ini mampu menciptakan ketergantungan jangka panjang.
Program Makan Bergizi Gratis ini seolah mampu menekan ketimpangan, namun bisa dilihat juga sebagai langkah populis untuk menciptakan adanya kesan kebaruan dan perubahan tanpa menangani akar ketimpangan. Fenomena ini disebut oleh Bourdieu sebagai legitimasi simbolik saat kebijakan publik menciptakan persepsi keberhasilan meskipun dampaknya hanya terbatas dan terlihat di permukaan (Bourdieu & Passeron, 1990).
Program Makan Bergizi Gratis yang diluncurkan pemerintah dalam konteks tantangan lokal dengan adanya distribusi yang tidak merata, keterbatasan anggaran, juga potensi korupsi, ketidaklayakan makanan yang diberikan, mampu menjadi isu utama yang bisa menghambat keberhasilan program ini (Batubara, et.al., 2025). Selain itu terdapat pemikiran kritis terkait pemberdayaan ekonomi, jika pengadaan makanan didominiasi oleh perusahaan besar yang dipilih pemerintah, seolah program ini mengabaikan pemberdayaan ekonomi lokal. Idealnya, program ini juga bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan masyarakat lokal, dengan melibatkan petani lokal dalam pengadaan bahan makanan yang bisa memberikan peninggkatan ekonomi masyarakat pedesaan, memutus dominasi perusahaan besar dalam rantai pasokan makanan.
Keseriusan pemerintah untuk merealisasikan program Makan Bergizi Gratis merupakan langkah positif yang patut diapresiasi. Namun masih dibutuhkan perencanaan yang cermat, juga analisa lebih lanjut serta proses evaluasi bertahap supaya program ini berjalan tidak sia-sia. Dalam perspektif Bourdieu, perlu adanya pemberdayaan komunitas lokal, juga adanya komponen edukasi dalam meningkatkan budaya dan habitus baru bagi siswa sekolah. Perlu juga dipertimbangkan adanya intergrasi dengan kebijakan lain, seperti akses pendidikan berkualitas, pelatihan kerja, pemberdayaan komunitas dan petani lokal dalam pengadaan makanan.
Program yang sudah berjalan ini perlu terus dimonitoring dan dievaluasi, supaya juga bisa menekan resiko korupsi dan lebih memperluas partisipasi guru, orangtua, dan komunitas lokal supaya program ini bukan sekedar ilusi melainkan solusi perubahan yang menyentuh akar masalah, memperkuat modal sosial, budaya, dan ekonomi, serta mampu mengubah habitus masyarakat. (*)
Baca juga :