Ketua Umum DePA-RI Desak DPR Perkuat Perlindungan Hukum Advokat

Kampusiana—Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) TM Luthfi Yazid mendesak DPR untuk memperkuat perlindungan hukum advokat. Advokat sama seperti polisi, jaksa, hakim maupun KPK; sama-sama sebagai penegak hukum yang ingin mewujudkan keadilan bagi semua (Justitia Omnibus).
“DePA-RI mengharapkan agar advokat mendapatkan perlindungan yang semestinya saat menjalankan tugasnya. Karena itu, dalam RUU KUHAP yang sedang digodog. Kami mendesak kepada DPR, Komisi III DPR RI untuk memperkuat posisi advokat saat menjalankan profesinya sebagai penegak hukum. Advokat sama seperti polisi, jaksa, hakim maupun KPK; sama-sama sebagai penegak hukum yang ingin mewujudkan keadilan bagi semua,” kata Luthfi dalam siaran pers yang diterima Kampusiana.id.
Pernyataan Luthfi ini tekait dengan kasus yang menimpa mantan Juru Bicara KPK, Febry Diansyah. Kantor Febry Visi Law Office sebelumnya digeledah KPK. Febry mengaku penggeledahan itu terjadi saat melakukan rapat dengan tim hukum Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Febry yang pernah menjadi kuasa hukum Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan sekarang menjadi kuasa hukum Hasto Kristiyanto dalam perkara di Tipikor, dianggap pernah menerima honorarium Syahrul Yasin Limpo saat menjadi tersangka KPK. Penerimaan honorarium dari SYL yang kini menjadi terpidana korupsi itulah yang dipersoalkan KPK.
Menanggapi itu TM Luthfi Yazid, selaku Ketua Umum DePA-RI memberikan tanggapan pertama, advokat, KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan hakim sebagai sesama penegak hukum hendaklah saling menghargai profesi masing-masing dalam menjalankan tugasnya secara profesional.”Kedua, prinsip negara hukum (rechsstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat) haruslah dipegang teguh oleh semua aparat penegak hukum, baik KPK, polisi, Jaksa, hakim dan advokat,” katanya.
Ketiga, menurutnya, kebebasan mencari pekerjaan dan nafkah dijamin oleh Konstitusi, UUD 1945. Bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. “Setiap orang juga berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28D ayat 2 UUD 1945),” tegasnya.
Keempat, menurut Luthfi advokat adalah officium nobile, yaitu profesi terhormat. Bahwa dengan profesinya atau jasanya seorang advokat mendapatkan kehormatan (dalam bahasa Inggris honor ), maka hal itu wajar. “Sama seperti seorang dokter. Setelah dokter memberikan jasanya maka ia mendapatkan honorarium.”
Kelima, menurutnya masalahnya adalah apakah seorang dokter atau advokat sebelum atau saat menerima honorarium dari kliennya atau pasiennya haruslah menanyakan terlebih dahulu “Apakah uang yang akan saudara bayarkan adalah uang haram atau halal? Apakah uang yang akan saudara bayarkan adalah dari hasil korupsi atau bukan?”
Tentu pertanyaan seperti itu menurutnya tidak layak, tidak elok, tidak lumrah. Sebab itu maka prinsip legalitas menjadi penting. Jika memang mendapatkan honor harus jelas dari mana asal uangnya dan seorang advokat harus bertanya asal-usul honor yang akan dibayarkan, maka dalam prinsip negara hukum dan berdasarkan azas legalitas haruslah ada aturan hukumnya terlebih dahulu. Azas legalitas dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Ketentuan ini mempertegas azas nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege yaitu bahwa seseorang hanya dapat dihukum apabila sudah ada aturan yang ditetapkan terlebih dahulu.
Peraturan perundangan yang ada maupun UU Nomer 18 Tahun 2003 tentang Advokat papar Lutfhi tidak mengatur tentang halal-haramnya honorarium. Dalam Pasal 21 ayat 1 UU Advokat hanya disebutkan “ Advokat berhak mendapatkan honorarium atas jasa hukum yang telah diberikan kepada kliennya”. Ayat 2 menyebutkan “besarnya honorarium sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak”.
Jadi menurut Lutfhi, kesepakatan soal biaya jasa hukum antara seorang advokat dan kliennya sifatnya kontraktual, dan karenanya harus dihormati. “Sebab itu para advokat tidak perlu gusar dengan kejadian yang dialami rekan Febry sepanjang tugas-tugas advokat dilakukan secara profesional, menaati kode etik dan UU Advokat,” tegasnya.(*)