Guru Besar UGM : Anak Paling Rentan Terkena DBD

Kampusiana—Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada, Prof Eggi Arguni, mengatakan bahwa kelompok usia anak masih menjadi kelompok paling rentan terhadap Demam Berdarah Dengue (DBD). Kasus terbanyak di Indonesia masih didominasi oleh usia anak, terutama di bawah 10 tahun.
“Peningkatan jumlah penderita demam berdarah ini disebabkan oleh dua faktor utama yaitu sistem kekebalan tubuh anak yang belum sempurna, serta tingginya kemungkinan paparan di lingkungan sekolah dan rumah. Selain itu, ia juga mengatakan bayi rentan terkena DBD karena adanya antibodi dari ibu yang bisa menyebabkan reaksi lebih berat saat terinfeksi virus dengue,” papar Eggi, di Yogyakarta, Senin (06/10/2025).
Menurut Eggi, kasus DBD kini sudah merata di seluruh Indonesia. Namun, tingkat endemisitas tinggi terutama ditemukan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, Makassar, dan Medan. Faktornya karena kepadatan penduduk dan kondisi lingkungan yang mendukung berkembangnya nyamuk Aedes aegypti.
Belum ada obat khusus untuk infeksi dengue, kata Eggi, penanganan penyakit ini bersifat suportif seperti pemberian cairan, obat demam, atau transfusi bila terjadi perdarahan berat. Oleh karenanya, pencegahan menjadi kunci utama seperti upaya vector control hingga pengendalian nyamuk penular.
“Salah satunya melalui gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan prinsip 3M Plus,” jelasnya.
Langkah ini mencakup menguras, menutup, dan mendaur ulang tempat penampungan air, ditambah berbagai inovasi seperti memelihara ikan pemakan jentik dan melakukan fogging bila diperlukan. Ia menambahkan, masyarakat perlu mewaspadai waktu aktif nyamuk Aedes aegypti yang umumnya menggigit pada pagi hari hingga menjelang maghrib.
Menariknya, banyak yang belum sadar bahwa nyamuk DBD tidak hanya aktif malam hari seperti nyamuk biasa. “Justru mereka paling agresif di pagi sampai sore hari, terutama di lingkungan rumah,” ujarnya.
Eggi mengingatkan pentingnya kesadaran masyarakat untuk tidak menunda pemeriksaan ketika muncul gejala demam, karena diagnosis dini sangat diperlukan dalam penanganan infeksi dengue. Ia menekankan bahwa pasien sebaiknya segera memeriksakan diri ke puskesmas atau rumah sakit agar dapat ditangani sedini mungkin, sebab penanganan cepat dapat mencegah kondisi menjadi lebih berat.
Gejala yang perlu diwaspadai meliputi sakit perut hebat, muntah terus-menerus, perdarahan pada gusi atau kulit, serta tubuh yang terasa sangat lemas. “Bila gejala ini muncul, pasien harus segera dibawa ke fasilitas kesehatan,” jelasnya.
Kabar baiknya, Indonesia kini telah memiliki vaksin dengue yang bisa diberikan untuk usia 4 hingga 60 tahun. Vaksin ini tersedia secara mandiri di rumah sakit atau klinik swasta, meski belum termasuk dalam program vaksinasi nasional. Vaksin ini sangat direkomendasikan terlebih untuk masyarakat yang tinggal di daerah endemis dengan dosis dua kali dengan jarak tiga bulan. Eggi berharap pemerintah dapat segera memasukkan vaksin dengue ke dalam program nasional agar biaya vaksinasi lebih terjangkau.
Eggi menegaskan bahwa infeksi dengue adalah tanggung jawab bersama. Infeksi ini masih menjadi masalah kesehatan dunia dengan angka kesakitan dan kematian tinggi. “Tidak ada satu cara pencegahan yang paling efektif, semua upaya harus dilakukan bersama, mulai dari menjaga kebersihan, PSN, vaksinasi, hingga edukasi masyarakat,” tegasnya.(*)