Perempuan dan Politik : Kinerja yang Tak Mengenal Gender
Oleh: Suci Marini Novianty
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya
“There cannot be true democracy unless women’s voices are heard. There cannot be true democracy unless women are given the opportunity to take responsibility for their own lives. There cannot be true democracy unless all citizens are able to participate fully in the lives of their country.” – Hillary Clinton
Di Indonesia, politik sering kali dipandang sebagai ranah yang lebih cocok untuk laki-laki karena dianggap membutuhkan ketegasan dan keberanian—atribut yang sering diasosiasikan dengan maskulinitas. Sebaliknya, feminitas sering dilihat sebagai kelembutan dan empati, atribut yang dianggap kurang relevan dalam dunia politik yang dinamis.
Namun, pengalaman menunjukkan bahwa pembagian semacam ini hanyalah konstruksi sosial yang semakin kehilangan relevansinya. Di tengah stereotip yang mengakar, politisi perempuan terus membuktikan bahwa keberhasilan seorang pemimpin tidak ditentukan oleh gender, melainkan oleh visi, kompetensi, dan dedikasi untuk melayani masyarakat.
Maskulinitas dan feminitas sering kali digunakan untuk membangun narasi tentang apa yang membuat seorang pemimpin dianggap efektif. Maskulinitas biasanya dikaitkan dengan kekuatan, ketegasan, dan keberanian, sementara feminitas dihubungkan dengan empati dan kelembutan. Namun, menurut analisis Robin Lakoff, stereotip semacam ini hanya memperkuat bias terhadap perempuan dalam politik. Bahasa dan wacana politik tradisional sering kali menciptakan hambatan tambahan, di mana upaya perempuan untuk berpartisipasi sering dianggap tidak relevan atau tidak kompeten .
Pada kenyataannya, keberhasilan dalam politik tidak membutuhkan pemenuhan atribut gender tertentu. Kepemimpinan sejati lahir dari kemampuan untuk membaca situasi dan mengambil keputusan yang tepat. Pemimpin yang efektif sering memadukan atribut yang dianggap maskulin dan feminin. Empati menjadi krusial dalam memahami kebutuhan masyarakat, sementara ketegasan diperlukan untuk mengambil tindakan strategis.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa karakteristik seperti kolaborasi dan solidaritas—yang biasanya diasosiasikan dengan feminitas—sering kali menjadi elemen penting dalam keberhasilan kebijakan. Sebaliknya, ketegasan yang biasanya dianggap maskulin juga sering diadopsi oleh pemimpin perempuan ketika diperlukan. Hal ini membuktikan bahwa label gender tidak lagi relevan, karena karakteristik kepemimpinan yang baik dapat melebur sesuai kebutuhan.
Namun, tantangan tidak berhenti pada praktik kepemimpinan saja. Media juga berperan besar dalam membentuk persepsi publik tentang politisi perempuan. Melalui teori agenda setting dan framing, media menentukan isu apa yang perlu diperhatikan dan bagaimana isu tersebut disajikan. Sayangnya, media sering kali menyoroti aspek-aspek pribadi politisi perempuan, seperti penampilan atau kehidupan keluarga, daripada kebijakan dan hasil kerja mereka. Hal ini memperkuat stereotip bahwa perempuan tidak memiliki kapasitas yang sama dengan laki-laki dalam dunia politik.
Framing negatif sering kali membuat politisi perempuan terlihat "lemah" jika mereka menunjukkan empati, atau "agresif" jika mereka tegas. Sebaliknya, laki-laki dengan karakteristik serupa justru dipuji. Namun, media juga memiliki potensi untuk menjadi katalisator perubahan. Dengan menyoroti keberhasilan politisi perempuan berdasarkan kontribusi mereka, media dapat membantu masyarakat memandang kepemimpinan melalui lensa yang lebih adil dan inklusif.
Menuju Politik yang Lebih Inklusif
Kepemimpinan sejati tidak dibangun di atas dominasi, melainkan pada kemampuan untuk berkolaborasi. Dalam politik, kolaborasi memungkinkan pemimpin untuk menyatukan berbagai perspektif, membangun kepercayaan, dan menciptakan kebijakan yang relevan. Perempuan di panggung politik Indonesia telah menunjukkan bahwa keberhasilan mereka lahir dari kemampuan untuk bekerja sama tanpa harus terikat pada stereotip gender. Kolaborasi, yang sering dianggap sebagai atribut feminin, terbukti menjadi elemen penting dalam menciptakan solusi yang efektif dan berkelanjutan.
Namun, menciptakan politik yang lebih inklusif membutuhkan perubahan cara pandang masyarakat. Narasi yang mengkotakkan maskulinitas dan feminitas perlu dihapuskan, digantikan dengan fokus pada hasil nyata dari kebijakan yang dihasilkan. Media memiliki tanggung jawab besar dalam perubahan ini. Dengan menyampaikan pemberitaan yang adil, mereka dapat membantu membangun sistem politik yang lebih inklusif, di mana kinerja dan kontribusi menjadi tolok ukur utama keberhasilan.
Ketika masyarakat dan institusi politik meninggalkan pandangan usang tentang gender, kita dapat membuka jalan menuju politik yang lebih setara. Maskulinitas dan feminitas hanyalah konstruksi sosial; yang penting adalah kemampuan untuk memimpin dengan visi dan menghasilkan perubahan yang nyata. Dengan mendukung narasi yang inklusif, kita dapat memastikan bahwa politik Indonesia bergerak menuju era baru yang bebas dari batasan gender, di mana keberhasilan pemimpin ditentukan oleh dampak kerja mereka, bukan stereotip yang melekat. (*)
Baca juga :
Efek Disinhibisi Daring: Kebebasan Komentar dan Militansi Netizen Indonesia
Janji Pemberantasan Korupsi Prabowo | kampusiana.id
Kampus Terbaik di Jawa Timur Versi THE WUR 2025, ITS Nomor Satu | kampusiana.id